Kamis, 26 Januari 2017

Beberapa Destinasi Wisata di Wilayah Kabupaten Langkat

1). Tangkahan - The Hidden Paradise Of Sumatera
2). Air Terjun Jodoh - Pamah Simelir
3). Batu Rongring dan Batu Katak
4). Wisata Bahari Jaring Halus, Pulau Kampai, Pulau Sembilan
5). Arung Jeram Sei Wampu dan Sei Bingei

Kamis, 22 Desember 2016

Kampung Besilam - Tanjung Pura Langkat

Pintu Gerbang Masuk Kampung Babussalam
Pintu Gerbang Masuk Kampung Babussalam
Kampung Islam Besilam atau juga dikenal Babussalam, terletak di kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Letak kampung Besilam ini berjarak sekitar 75 kilometer dari kota Medan, ibukota propinsi Sumatera Utara. Sejarah berdirinya kampung Besilam ini sangat erat dengan keberadaan Kesultanan Langkat, di mana sang pendiri kampung Besilam ini adalah guru atau ulama agama Islam bagi kerabat kesultanan dan juga masyarakat Langkat pada waktu itu.
Kampung Basilam atau Babussalam ini didirkan oleh Syekh Abdul Wahab Rokan (1811-1926), seorang penganut Tarekat Naqsabandiyah yang telah memperdalam ilmu agama di tanah jarizah Arab. Sekembalinya ke tanah kelahiran Indonesia, Syehk Abdul Wahab Rokan mengajarkan ilmu Tarekat Naqsabandiyah kepada para murid dan pengikutnya. Pada saat itu Sultan Musa, sultan pertama Langkat, yang menurut kabarnya bersepupu dengan Syekh Abdul Wahab Rokan, dan memberikan beliau sebidang tanah untuk Syekh Abdul Wahab Rokan agar mendirikan sebuah perkampungan Islam, mengingat kesultanan Langkat yang beretnis Melayu memeluk agama Islam begitupun juga masyarakat Melayu pada umumnya. Karena banyak masyarakat yang menganut dan mengamalkan ajaran Syekh Abdul Wahab Rokan, maka saat itu Syekh Abdul Wahab Rokan pun dijuluki gelar oleh para pengikutnya dengan sebutan Tuan Guru Babussalam yang berarti guru keselamatan, maka kampung yang ditempati oleh Tuan Guru Babussalam dinamai dengan Babussalam atau Besilam.
Setelah wafatnya sang Tuan Guru Babussalam Syekh Abdul Wahab Rokan pada hari Jumat 27 Desember 1926, ajaran Tarikat Naqsabandiyah yang diajarkannya kepada para murid dan pengikutnya masih terus diamalkan oleh para murid yang menggantikan peran Syekh Abdul Wahab Rokan sebagai penyiar Islam di tanah Langkat. Maka setelah wafatnya Syekh Abdul Wahab Rokan, kampung Besilam memiliki Tuan Guru Babussalam atau Tuan Guru Besilam lainnya yang terus mengajarkan ajaran Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan dan mendirikan syiar Islam. Begitupun setelah Tuan Guru lainnya wafat, maka akan ditunjuk Tuan Guru lainnya sebagai pemimpin umat.
Keadaan kampung Besilam sangat tenang, berada jauh dari pusat keramaian, dan hanya dikelilingi oleh perkebunan karet dan sawit, membuat kampung ini sangat baik untuk melakukan tarekat dan mendekatkan diri kepada Allah. Sebuah pesantren pun berdiri kokoh di tengah kampung, selain itu terdapat dua buah masjid, satu masjid yang menjadi makam bagi Syekh Abdul Wahab Rokan dan satunya merupakan masjid yang digunakan oleh santri dan warga kampung untuk beribadah. Sementara masyarakat yang tinggal di wilayah Babussalam pun sehari-harinya sangat menjunjung tinggi agama dan norma
Setiap tahunnya ada sebuah hajatan besar yang bernama HUL atau Hari Ulang Tahun untuk mengenang Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan. Pada peringatan HUL ini para jemaah yang berasal di sekitar pesisir pantai timur Sumatera (propinsi Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi), bahkan para jemaah yang datang dari luar negeri juga banyak seperti dari Malaysia, Singapura, Brunei, sampai beberapa negara Asia, berdatangan ke kampung Besilam untuk turut bertarekat. Selain pada HUL tersebut setiap harinya kampung Besilam ini selalu ramai dikunjungi oleh para pejiarah dan jemaah yang datang untuk bertemu dengan Tuan Guru Babussalam. Tidak hanya masyarakat biasa saja yang ramai berjiarah dan mendalami agama ke kampung Besilam ini, bahkan para pejabat dan tokoh masyarakat yang ingin mendapatkan keinginannya dalam hal tertentu seperti posisi publik, datang menemui Tuan Guru Babussalam untuk meminta restu dan doa. Tokoh nasional seperti mantan wakil presiden Jusuf Kalla pernah berkunjung ke kampung Besilam, termaksud juga mantan Panglima TNI Wiranto.
Menuju ke kampung Besilam ini lebih muda dengan menggunakan kendaraan pribadi. Sementara untuk kendaraan umum adalah dengan menggunakan tersedia jika dari Medan adalah bis Pembangunan Semesta (PS) tujuan dari Pinang Baris (Medan) – Pangkalan Berandan. Berhenti sebelum sungai Tanjung Pura, tempat biasa bis menurunkan penumpang, dari situ perjalanan selanjutnya bisa menggunakan RBT atau ojek.
Berikut di bawah ini gambar keadaan wilayah Kampung Islam Babussalam.
Tulisan Peringatan Wajib Berbusana Muslim di Babussalam
Tulisan Peringatan Wajib Berbusana Muslim di Babussalam
Makam Masjid Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan
Makam Masjid Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan
Gambar Masjid Utama Babussalam
Gambar Masjid Utama Babussalam
Gambar Dalam Majid Utama Babussalam
Gambar Dalam Majid Utama Babussalam
Dalam Masjid Babussalam
Dalam Masjid Babussalam
Dalam Masjid Utama Babussalam
Dalam Masjid Utama Babussalam
Suasana Kampung Babussalam
Suasana Kampung Babussalam
Rumah Warga Etnis Melayu Langkat
Rumah Warga Etnis Melayu Langkat
Suasana Kampung Babussalam
Suasana Kampung Babussalam

Via : visitlangkat.wordpress.com

Ada kampung Bali di Langkat

Pintu Gerbang Masuk Kampung Bali, Desa Paya Tusam, Kec Wampu, Kab Langkat, Sumut
Pintu Gerbang Masuk Kampung Bali, Desa Paya Tusam, Kec Wampu, Kab Langkat, Sumut
MelayuLangkat. Ledakan Gunung Agung pada februari 1963 akan menjadi peristiwa kelam bagi sejarah Bali. Dalam catatan sejarah, letusan Gunung Agung mengeluarkan 300 juta meter kubik magma, yang membuat cahaya matahari berkurang dan menimbulkan terjadinya gerhana bulan. Dampak lainnnya, tanah pertanian menjadi tandus, dan masyarakat Bali kehilangan sumber pendapatan sehari-hari. Masa-masa itu menjadi periode paling sulit dalam sejarah masyarakat Bali.
Sebagai bentuk tanggung jawab, pemerintah masa itu merencanakan program transmigrasi bagi masyarakat Bali keluar pulau agar mendapat pengganti lahan pekerjaan dan kehidupan yang baik. Setelah menunggu rencana tersebut, akhirnya muncul tawaran dari perusahaan perkebunan karet (PPN Karet) bagi masyarakat korban letusan Gunung Agung, sebuah kontrak kerja selama 6 tahun.
Jalan panjang pun dilalui oleh masyarakat Bali yang melakukan kontrak kerja tersebut. Daratan Bali ditinggalkan dan menempuh perjalanan darat ke Tanjung Priok, Jakarta. Dari Tanjung Priok perjalanan dilanjutkan dengan kapal laut menuju ke Belawan, Medan. Sesampainya di daratan pertama di pulau Sumatera ini, selanjutnya mereka di bawa ke perkebunan karet di Bandar Selamat, Asahan. Selama perjalanan panjang tersebut, ada beberapa dari saudara sesama warga Bali yang meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke tempat tujuan. Tanggal 3 bulan november 1963, adalah kali pertama kelompok warga Bali tersebut tiba di Bandar Selamat. Itulah awal cerita suka duka I Nengah Sambe, ketika mengikuti ayahnya merantau ke Sumatera pada usia 13 tahun. Perjalanan hidupnya tersebut masih terus dia ingat, termaksud tanggal, tahun, dan bulan yang selalu dilihatnya di ukiran papan warung milik ayahnya.
Kedatangan masyarakat Bali ke Sumatera, khususnya Sumatera Utara, menambah ragam suku nusantara yang mendiami provinsi ini. Jejak keberadaan masyarakat Bali di Sumatera Utara dapat dilihat di desa Paya Tusam, kecamatan Wampu, kabupaten Langkat. I Nengah Sambe, merupakan generasi pertama yang mendiami desa Paya Tusam. Di usianya yang memasuki 65 tahun, I Nengah yang juga berposisi Pemangku (kepala adat) suku Bali di Langkat, menceritakan bagaimana awalnya suku Bali mendiami tanah Langkat.
Setelah kontrak pertama selama 6 tahun selesai, sebagian masyarakat Bali yang tinggal di perkebunan Bandar Selamat, memohon untuk mundur dengan hormat sebagai buruh perkebunan, dan kembali ke tanah leluhurnya di Bali. Sementara sebagian yang ingin terus menetap di Sumatera, berencana untuk membentuk suatu perkampungan Bali, di mana masyarakat Bali perantauan ini dapat melakukan ritus dan budayanya persis seperti di Bali dengan sesama masyarakat Bali lainnya. Maka melalui organisasi Parisada Hindu, masyarakat Bali ini diperbantukan untuk dicarikan sebuah lahan kosong yang dapat ditempati oleh masyarakat Bali. Akhirnya pilihan tersebut jatuh ke wilayah hutan belantara yang berstatus Tanah Negara Bebas. Masyarakat Bali yang akan mendiami wilayah ini diharuskan membayar ganti tanah tersebut sebagai milik warga, yang dapat mereka olah sebagai kebun pribadi.
Berdasarkan penuturan I Nengah, awalnya suku Bali yang mendiami hutan belantara tersebut hanya terdiri dari 5 kepala keluarga (KK) saja. Kelima kepala keluarga tersebut adalah generasi pertama yang mendiami wilayah Paya Tusam pada tahun 1974. Dua tahun berikutnya, sebagian masyarakat Bali lainnya yang bekerja sebagai buruh di perkebunan Tanjung Garbus, Deli Serdang, datang dengan jumlah yang lebih besar ke desa ini, maka jumlah penduduk Bali bertambah menjadi 60 KK, akhirnya desa Paya Tusam dikenal sebagai Kampung Bali.
Pintu Pura Agung Masyarakat Hindu Bali di Langkat
Pintu Pura Agung Masyarakat Hindu Bali di Langkat
Kepala dusun Paya Tusam, Nyoman Sumandro, adalah generasi kedua yang mendiami Kampung Bali. Berdasarkan catatannya, Nyoman mengatakan bahwa saat ini suku Bali yang mendiami desa Paya Tusam hanya 36 KK dari 74 KK yang berada di bawah naungannya. Sisa 38 KK lainnya adalah suku Jawa yang datang dalam kurun tahun 1980 sampai 1990-an. Sementara warga Bali yang awalnya mendiami desa tersebut telah pergi meninggalkan kampung dan menjadi perantau di wilayah Riau, Jambi dan Lampung. Meskipun jumlah suku Bali lebih sedikit daripada suku Jawa, namun kedua suku pendatang ini hidup rukun berdampingan. Bahkan pernikahan di antara dua suku ini juga terjadi, seperti pengalaman Nyoman yang berisitrikan perempuan Jawa.
Satu hari menjelang peringatan Nyepi, yang biasa disebut nilem (hari tilem/gelap bulan), para suku Bali seperi I Nengah Sambe, Nyoman Sumandro dan lainnya, berbenah menyiapkan perayaan besar agama Hindu. Pada hari tilem ini diadakan upacara mecaru,yang pada intinya mensucikan alam sekitar tempat tinggal dari gangguan roh jahat (Buthakala) agar tidak mengganggu kehidupan warga. Upacara mecaru dilaksanakan di pintu gerbang masuk kampung Bali, lengkap dengan sebuah sanggah bambu yang digunakan sebagai tempat penampahan dan sejumlah sajen lainnya sebagai pelengkap ritual sembahyang. Segala rupa bahan-bahan sajen ini dipersiapkan secara bersama-sama oleh warga di Pura.
Upacara Mecaru (H-1) sebelum Nyepi
Upacara Mecaru (H-1) sebelum Nyepi
Menjelang sore pukul 5, para warga berkumpul di tempat upacara mecaru, ritual dipimpin oleh I Nengah Sambe dengan khusyuk. Selama pelaksanaan ritual, para warga sekitiar menyaksikan sembahyang umat Hindu Bali ini dengan sikap tertib. Selepas pembacaan mantra, sajen yang telah dipersiapkan sebagai persembahan dihanyutkan oleh jemaah ke aliran sungai sekitar desa. Sungai telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Bali di Langkat. Setelah persembahan tersebut, jemaah dipersilahkan pulang ke rumah masing-masing untuk melakukan ritual keliling rumah sambil membawa dupa pembakaran. Untuk selanjutnya, mereka berkumpul kembali ke Pura untuk melakukan ritual sembahyang Pengrupukan/Pangidaran.
Keesokan harinya, tepat pada hari perayaan Nyepi, maka umat Hindu kampung Bali akan melakukan ritual Nyepi yang bermakna hari tanpa kesibukan (puasa). Selama hari Nyepi ini, kegiatan-kegiatan yang dilarang antara lain amati geni (tidak menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak berpergian), serta amati lelanguan (tidak menghidupkan hiburan). Amalan baik yang bisa dilakukan antara lain membaca kitab Weda. Ketika hari Nyepi ini umat Hindu kampung Bali hanya berdiam diri di rumah, dan perkampungan akan menjadi sepi (kecuali aktifitas yang dilakukan oleh suku lainnya).
Ada korelasi antara perayaan Nyepi dengan keberadaan kampung Bali yang jauh dari pusat keramaian. Perkampungan yang berada di perbukitan ini menjadi tempat yang paling dekat kepada Sang Hyang Widhi, dan suasana perkampungan yang benar-benar sepi. Untuk mencapai ke lokasi ini, kota terdekat bisa melalui Binjai menuju ke kecamatan Selesai, Langkat. Dari Binjai jarak tempuh dengan mobil menghabiskan waktu satu setengah jam. Medan jalan yang bebatuan, dan jalan perbukitan menanjak, serta kebun-kebun karet dan sawit menjadi pemandangan menarik yang menghibur mata. Jika datang musim penghujan, maka medan jalan akan terasa makin berat. Belum lagi, lokasi perkampungan Bali yang terpisahkan oleh aliran sungai Bingai, sehingga membutuhkan penyeberangan getek yang membantu untuk melintasi aliran sungai.
Suasana Kampungan Bali yang Dihuni masyarakat Bali berada pada ketinggian bukit
Suasana Kampungan Bali yang Dihuni masyarakat Bali berada pada ketinggian bukit
Patut dihargai bagaimana suku Bali di Langkat terus mempertahankan tradisi dan budaya luhur mereka di tanah perantauan. Keyakinan untuk terus mempertahankan budaya dan tradisi di manapun mereka berada seperti bunyi pepetah Bali, “tak kering oleh panas, tak basah oleh hujan”. Makna dari pepatah ini bahwa, di manapun suku Bali berada maka budaya dan tradisi luhur mereka terus dijaga. Om Santih santih santih Om, (Om Sang Hyang Widhi anugerahkan kedamaian, kedamaian, kedamaian, selalu).
Banten, tempat ibadah sehari-hari umat Hindu Bali di Langkat
Banten, tempat ibadah sehari-hari umat Hindu Bali di Langkat
Gambar Pura Agung
Gambar Pura Agung


Via : visitlangkat.wordpress.com

Tradisi Kesusasteraan di Besilam

Oleh: Abdul Habib Ashary (Peneliti Mandiri)
Artikel ini pertama kali terbit di Analisa Medan 3 Mei 2015.  tim Visitlangkat mengutipnya dan melakukan sedikit editan pada beberapa bagian, dan memasukkannya ke dalam blog ini sebagai sumber pengetahuan pembaca.
Dalam tradisi Dunia Melayu, ada seperti “keharusan” bagi para penyebar ilmu agama, bahwa seorang alim-ulama juga harus memiliki pengetahuan dalam bidang sastra. Beberapa nama alim-ulama dalam Dunia Melayu yang bisa disebutkan memiliki pengetahuan sastra yang cakap seperti Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, dan Hamzah Fansuri. Selain nama-nama tersebut, kiranya patut dipertimbangkan nama ulama terkemuka Langkat, yaitu Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan (1811-1926).
Syekh Abdul Wahab Rokan (SAWR), atau biasa disebut “Tuan Guru Babussalam (Besilam)” adalah cerdik pandai yang memiliki pengetahuan luas. Sumbangan pendidikannya pada umat tidak hanya di bidang agama, namun juga mencakup sastra. Tidak banyak yang menyadari bahwa, sejak pertama kali merambah hutan belantara dan mendirikan perkampungan yang sekarang dikenal Perkampungan Besilam, SAWR juga turut mengembangkan suatu tradisi kesusastraan (syair) yang kini masih terus dilestarikan oleh para murid-muridnya lintas generasi.
Syair adalah salah satu bentuk sastra lama. Di dalamnya ada narasi yang diceritakan. Sebab itu pada syair, rima tersusun sederhana, a-a-b-b atau a-a-a-a dan b-b-b-b. Bagi orang yang membaca dan mendengarkan adalah menangkap dan mengikuti “isi” cerita atau kalimat dari bait ke bait (Goenawan Mohamad, 2011).
Dalam masyarakat nusantara, syair menjadi bagian dari kebudayaan yang bersifat lisan (verbal). Sebelum sampai pada kebudayaan cetak (tulisan), syair pada umumnya dibacakan, diperdengarkan, dan diresapi apa isinya secara terus menerus. Begitupun dengan tradisi kesusasteraan di Besilam, awalnya syair karya SAWR dibacakan sendiri oleh sang Tuan Guru dan didengarkan oleh para murid dan masyarakat di kampung Besilam. Hal ini merupakan cara untuk mengenalkan sastra kepada masyarakat. Dan ketika dikenalnya kebudayaan cetak, syair-syair SAWR ditulis ke dalam aksara Arab-Melayu. Tradisi penulisan aksara Arab-Melayu di Besilam telah berlangsung lama dan masih berlanjut sampai kini. Hingga wafatnya sang Tuan Guru, syair-syair ciptaannya masih terus dibacakan dengan lantunan lagu nan indah, terutama menjelang masuk sholat zuhur.
Syair dalam kesusasteraan Melayu memiliki kedudukan yang saling mengikat satu dan lainnya dengan misi penyebaran agama Islam. Hal ini dikarenakan fakta bahwa bahasa Melayu berperanan sebagai salah satu wahana pengantar agama Islam. Pengaruh Islam yang kuat terhadap sastra Melayu tersebut menggambarkan bahwa konsep “Melayu” sinonim dengan “Muslim” (Sweeney, 1980). Atau dalam perumpamaan lainnya, Islam dan Melayu ibarat gigi dengan gusi.
Maka tidak mengherankan jika seorang alim-ulama juga memiliki kemampuan dalam menciptakan sebuah karya sastra seperti syair, karena syair telah lama menjadi bagian dari kebudayaan kita, sehingga ini dapat memudahkan syiar Islam, dan penerimaan paham ajaran Islam dapat lebih diterima masyarakat.
Sumber dari lingkungan pesantren di Besilam menyebutkan bahwa SAWR menghasilkan banyak karya sastra, namun karena kendala pendokumentasian, banyak dari karya sastra sang Tuan Guru yang tidak dapat diketahui khalayak. Salah satu hasil karya sastra SAWR yang hingga kini terus diamalkan adalah Munajat.
Munajat ini berisikan kumpulan syair-syair yang diciptakan sendiri oleh SAWR, di dalamnya terdapat 45 bagian yang menceritakan pengamatan SAWR terhadap kehidupan, pujian kepada tokoh penyebar agama Islam, terutama para guru SAWR yang telah mengajarkan ilmu tarekat, serta muasal penyebaran tarekat Naqsabandiaah di Besilam.
Jika dilihat berdasarkan proses lahirnya syair karya SAWR, tak lepas berkat pendekatan mesra sang Tuan Guru kepada Sang Khalik melalui tasawuf. Dalam tradisi kesusasteraan Melayu, pandangan hidup, sistem nilai, dan resepsi, telah menjadi tema dalam karya-karya sastra Melayu yang paralel dengan tradisi tasawuf Islam (Barginsky, 1998). Berikut adalah bait syair SAWR.
                        Kamilah ini orang berdagang
                        Dosa kami banyak amal kami kurang
                        Asyikkan dunia pagi dan petang
                        Haraplah diampuni ya Allah Tuhan Penyayang
Bagian syair ini menunjukkan pengamatan SAWR sebagai “anak dagang” dalam menjalankan kehidupan sebagai manusia di dunia, di mana pokok permasalah manusia (pada umumnya) di dunia: terlalu sibuk mengejar dunia (pagi dan petang).
Bait pada syair di atas masih relevan dengan kehidupan masyarakat kita hari ini, bahwa banyak dari kita masih menganggap dunia dan akhirat adalah dua hal yang berpolarisasi atau saling bertentangan. Orang khawatir menghadapi dunia hingga mengejar dunia habis-habisan, karena mengira kalau akhirat yang dikejar dunia tak didapatkan. Akan hal seperti ini, para alim-ulama punya pertanyaan; Apakah hidup ini untuk mengejar dunia atau akhirat? Jika jawabnya dunia, maka kesalahan ada pada diri manusia tersebut, karena telah menjadikan dunia sebagai tujuan. Kalau jawabnya akhirat, maka sepantasnya manusia tak perlu berkeluh kesah tentang dunia.
Lantas apa yang menjadi resep agar selamat di dunia dan di akhirat? Adalah ridha dan rahmat serta syafaat Nabi Muhammad yang akan memberikan jalan keselamatan bagi manusia. SAWR berujar dalam syairnya.
                        Haraplah hambamu dikurnia selamat
                        Berkat syafaat Nabi Muhammad
                        Siang dan malam beroleh keridhaan dan rahmat
                        Sehingga sampai hari kiamat
Memperoleh syafaat juga bisa didapatkan dari orang-orang yang sepanjang hidupnya terus menanam kebaikan, terutama para guru yang telah berjasa mengajarkan banyak ilmu pengetahuan. Penghargaan SAWR kepada gurunya (Syekh Sulaiman Zuhdi) yang telah mengajarkan ilmu tarekat Naqsabandiah juga disampaikan dalam syairnya ketika merintis perkampungan Besilam. Bait syair tersebut seperti berikut.
                         Ya Haiyu ya Qaiyum ya Allah
                        Jauhkan bala hampirkan nikmah
                        Kampong kami ini diamankanlah
                        Berkat Tuan Syekh Sulaiman Zuhdi wali yang megah
Dalam sebuah karangan tentang riwayat SAWR yang ditulis Ahmad Fuad Said (1976), SAWR berujar tentang penghormatan kepada guru bahwa, “barang siapa hormat kepada guru, rezekinya murah, umur panjang, mendapat sesuatu pekerjaan dan selamat dunia dan akhirat. Sebaliknya siapa yang durhaka kepada guru, hidupnya susah, ilmu tiada berkat, bermacam-macam bala akan menimpa dan mudah mati tanggal iman”.
Tradisi kesusasteraan di Besilam, tentu juga tidak bisa dilepaskan dari kehidupan maktab(pesantren) yang dirintis oleh SAWR, yang juga turut mempengaruhi geliat sastra kepada para murid-muridnya. Kesusasteraan Melayu di lingkungan pesantren di Besilam pada hakikatnya bersumber dari sastra Islam yang bahannya adalah bahasa Arab. Sementara tulisan Arab diserap menjadi tulisan bahasa Melayu karena peran sosialnya, sebagai lambang bahwa teks yang bersangkutan termasuk peradaban yang ideologi sentralnya adalah agama Islam, dengan kitab dan Nabi-nya (Rodinson, 2005). Belum lagi sinomim “Melayu” sama dengan “Muslim” seperti yang disebutkan di atas, semakin memudahkan kesusasteraan Arab diterima oleh masyarakat Melayu, yang pada gilirannya karya-karya sastra Arab seperti novel, drama, baik fiksi dan nonfiksi diterima di lingkungan pesantren (Fadlil, 2011).
Geliat sastra di kalangan murid pesantren di Besilam dicerminkan dalam muqaddimah sebelum sholat Jum’at dimulai, di mana setelah pembacaan Munajat  selesai, dilanjutkan dengan adzan, maka sebelum masuk adzan yang kedua, bilal menyampaikan nasehat tentang faedah sholat Jum’at dan nasehat-nasehat baik lainnya. Nasehat-nasehat tersebut berbentuk syair yang akan menjadi “narasi pembuka” dari tema khutbah sholat Jumat. Misalnya seperti bunyi syair berikut.
             Aku ini rumah yang kelam
            Tikar tiada apalagi tilam
            Aku ini rumah pendosa
            Kau sembuhkan dengan bismillah
Makna pada syair di atas menunjukkan bahwa manusia tidak ada apa-apanya, manusia bagai “rumah kelam” yang bahkan tidak memiliki isi di dalamnya “tikar tiada apalagi tilam”, karena manusia (rumah pendosa) adalah tempatnya berbuat dosa yang segala kesembuhan hanya bisa dengan lafaz  “bismillah”. Tak jarang selama khutbah Jum’at berlangsung, khotib juga merujuk sumber-sumber kitab tasawuf yang bercorak sastra Arab seperti Bidâyatul-Hidâyah karangan Al-Ghazaly, Barzanjy, Kasidah Burdah, yang membuat khutbah semakin menarik didengar.
Dewasa ini, karya sastra berbahasa Melayu memang jarang dihasilkan (untuk tidak disebut hilang) oleh masyarakat sastra. Salah satu penyebabnya ialah sastra Melayu dianggap tidak memenuhi kebutuhan masa kini, baik sebagai hiburan atau pengetahuan, terlebih Indonesia telah dibanjiri oleh produk-produk sastra yang datang dari luar. Itulah kenapa kesusasteraan Melayu tidak lagi dihiraukan oleh khalayak Indonesia pada masa kini  (Chambert-Loir, 2014).
Berbeda dengan yang terjadi di Besilam, meskipun produksi sastra Melayu tidak dalam jumlah banyak, namun institusi atau lembaga pendidikan di Besilam masih terus melakukan tradisi sastra dengan membacakan syair-syair karya SAWR. Sesungguhnya para murid di Besilam telah mempertahankan dan melestarikan tradisi sastra yang telah dilakukan tuan guru pertama. Semoga tradisi kesusasteraan yang terus berlangsung di Besilam, bukanlah suatu nada terakhir dari kesusasteraan Melayu yang termasuk kebudayaan Indonesia.





Via : visitlangkat.wordpress.com

Syekh Tuan Guru Besilam

Syekh Tuan Guru Besilam 


Syeckh Abdul Wahab Rokan
Tuan Guru Besilam berada di posisi ketiga sebagai tokoh Wajah Ikon Sumut. Secara tradisi Tuan Guru Besilam dipegang secara bergantian apabila salah satu tuan guru wafat. Tuan Guru Besilam berada di perkampungan Besilam di kecamaan Padang Tualang, paling dekat ditempuh dari kota Tanjung Pura di Kabupaten Langkat. Kampung Besilam merupakan tempat didirikan dan disebarluaskannya ajaran Tarekat Naqsabandiyyah oleh tuan guru pertama Syekh Abdul Wahab Rokan. Pada masa keberadaan Kesultanan Langkat, tarekat naqsabandiyah dan Syekh Abdul Wahab Rokan turut serta membangun masyarakat Islam di tanah Langkat. Hingga kini, setiap tahunnya para jamaah dan murid-murid yang pernah mengaji di Besilam, datang ke Besilam memperingati hari wafatnya sang tuan guru pertama. Mereka datang dari berbagai pelosok Sumatera Utara, Aceh, Riau, Malaysia, Brunei, Kalimantan Barat, di mana mereka bertarekat, bermunajab dan bermuhasabah mendoakan tuan guru pertama yang telah wafat pada awal tahun 1900-an.
Hingga kini kepopuleran Besilam dan Tuan Gurunya masih dapat disaksikan di perkampungan Besilam sendiri, dimana masyarakat yang datang ke sana menziarahi makam para tuan guru selalu ramai setiap harinya. Disana kita dapat memohon nazar agar sesuatu yang menjadi keinginan kita dapat terkabul. Sosok seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Wiranto, sempat mendatangi khusus Besilam pada masa-masa awal tahun 2004 dan 2009. Bahkan banyak para politisi yang ingin bertarung dalam persaingan pilkada dan legislatif turut mendatangi tempat ini memohon doa kebaikan.
Besarnya peran Tuan Guru Besilam dan perkampungan Besilam sebagai institusi agama dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah Sumatra Utara, menjadi pertimbangan adminsendiri untuk menjadikan sosok Syekh Tuan Guru Besilam berada di posisi ketiga Ikon Wajah Sumut.


Via : visitlangkat.wordpress.com

Sastra Melayu di Langkat

TAKAN HILANG MELAYU DITELAN ZAMAN, TAKAN LAPUK DISIRAM HUJAN